Seorang pria yang usianya mulai menua hidup sendiri di tepi pantai. Sehari-hari dirinya bekerja membuat perahu. Perahu hasil buatannya sangat bagus dan kuat. Namun, hidupnya yang sepi membuatnya selalu sedih. Ia selalu gelisah tentang bagaimana masa tuanya kelak jika ia sakit dan tidak ada seorang pun yang mengurusnya.
Siapakah yang akan menjadi penerusnya jika ia tidak memiliki keturunan. Pembuat perahu tak henti-hentinya berdoa, memohon agar ia diberi seorang istri sebagai pendamping hidupnya.
Suatu hari saat menyusuri tepian pantai, pembuat perahu berniat mencoba perahu yang baru saja ia buat. Dari kejauhan ia melihat seekor ikan berwarna kekuningan terkapar di bibir pantai. Pembuat perahu pun berlari mendekati ikan itu. Saat melihat ikan masih hidup, ia pun bergegas membawa pulang ikan itu untuk dirawat di rumahnya.
Saat ikan sembuh, ikan cantik itu menjelma menjadi seorang wanita cantik. Tidak lama kemudian pembuat perahu mempersunting wanita cantik itu lalu dianugerahi seorang anak laki-laki. Pembuat perahu dan istrinya sangat senang. Namun, seiring bertambahnya usia, anak laki-lakinya, tumbuh menjadi anak yang sangat nakal.
Ada saja ulah anak pembuat perahu itu yang membuat kedua orangtuanya geram. Bahkan suatu hari anak Iaki-laki pembuat perahu itu membakar perahu yang baru saja dibuat dengan susah payah. Hal ini tentu membuat ayahnya menjadi sangat marah padanya. Ayahnya yang sedang naik pitam itu membawa anak laki-lakinya naik ke perahu yang tertambat di tepi laut.
Mereka berdua berlayar menuju sebuah pulau kecil. Pembuat perahu yang marah itu meninggalkan anaknya di pulau itu sendirian. Pembuat perahu pun pulang dengan perahu miliknya. Saat tiba di rumah, pembuat perahu melihat istrinya yang tengah kebingungan mencarinya dan anaknya. Pembuat perahu pun menjelaskan bahwa anaknya tengah menjalani hukuman karena telah membakar perahu yang baru saja ia buat.
Dalam beberapa lama ia akan tinggal di pulau itu dan suatu hari nanti, setelah merasa waktunya telah cukup, pembuat perahu akan menjemputnya. Alangkah terkejutnya hati sang ibu mendengar anaknya ditinggal sendirian oleh ayahnya.
Ibu yang sedih pun hendak menuju pulau itu menjemput anaknya, namun ia tidak bisa mengayuh sampan. Ia pun berubah kembali menjadi ikan untuk berenang ke sana. Padahal ia tahu, jika ia memutuskan kembali menjadi ikan, selamanya ia tidak akan menjadi manusia lagi.
Pembuat perahu termenung memikirkan perbuatannya. Kini istri yang sangat dicintainya itu pergi meninggalkannya untuk mencari anaknya yang berada di pulau kecil sendirian. Pembuat perahu pun menjalani kehidupannya yang lebih sunyi. Di lubuk hati yang paling dalam, ia menyesal telah meninggalkan anaknya di sana.
Bertahun-tahun kemudian, pembuat perahu memutuskan untuk menjemput anak laki-lakinya pulang. Ia pun mengayuh perahu yang dibuatnya dan tibalah ia di pulau kecil tempat ia meninggalkan anak laki-lakinya dulu.
Ia mencari-cari anaknya, namun pembuat perahu tak kunjung menemukan anak yang ia cari. Setelah cukup lama mencari, pembuat perahu mendengar suara kayu yang sedang dipukul-pukul. Penasaran dengan suara itu, pembuat perahu mencari asal suara. Betapa terkejutnya ia saat melihat seorang pembuat perahu yang sedang membuat sebuah perahu yang luar biasa indah.
Pembuat perahu mendekat. Ia ingin melihat siapakah gerangan pemuda hebat yang bisa membuat perahu yang demikian indah dan kuat. Saat mendekat, pembuat perahu terkejut karena yang ia lihat adalah anaknya yang telah tumbuh dewasa. Anaknya sangat mirip dengan ibunya dan mewarisi keahlian ayahnya, yakni membuat perahu.
“Ayah. Ibu telah mengajari aku banyak hal dalam membuat perahu. Kami bertemu di tepi pantai dan ia memberitahuku bagaimana Ayah membuat perahu dengan baik. Namun, aku hanya bisa menemuinya di sore hari saat air laut sedikit surut.” Pembuat perahu menangis mendengar nasib istrinya yang kini telah berubah menjadi ikan.
“Kau tahu, Ayah, satu hal yang membuat perahuku berbeda dengan perahu buatanmu. Perahu buatanku lebih ringan, karena sebelum digunakan, perahu ini aku bakar terlebih dahulu di bagian bawahnya. Sehingga membuat air yang terdapat di dalam kayu menjadi hilang. Jika airnya sudah hilang, perahu akan menjadi ringan dan lebih cepat, sehingga untuk mengayuhnya akan lebih mudah.”
Pembuat perahu tak kuasa menahan tangis mendengar kata-kata anaknya. Ternyata ketika anaknya membakar perahu buatannya, ia memiliki maksud tertentu. Namun, pembuat perahu yang sudah kalap tidak mau mendengar penjelasan anak laki-lakinya itu. Ia pun menyesali perbuatannya, namun nasi sudah menjadi bubur, istrinya telah kembali ke asalnya, yakni laut. Kini ia hanya bisa melihat istrinya sesekali di tepian pantai saat air sedang surut.