Aku yang Dipoligami, Mereka yang Ribut
Penulis : Anna Diana
Poligami, mendengar kata itu, dapat dipastikan banyak perempuan yang keluar tanduknya. Padahal poligami itu syariat. Pasti ada kebaikan dalam sebuah syariat agama, asalkan dilakukan dengan cara baik dan benar.
Sebaik-baik lelaki yang berbuat baik pada keluarganya. Adab dulu baru ilmu. Banyak orang mengaku berilmu, ngeyel poligami tapi yang ada bukan membawa kebaikan tapi kehancuran.
Menjadi istri lelaki berilmu sekaligus beradab pastilah keinginan semua wanita. Bersyukur aku memilikinya. Suamiku seorang pengusaha tekstil yang mapan. Bukan itu saja, dia juga pemilik pondok pesantren modern.
Bahagia, itu yang aku rasa menjadi permaisurinya. Dilimpahi kasih sayang dan finansial. Di usia yang belum genap tiga puluh tahun, kebahagiaan tidak pernah berhenti menghampiriku.
Akan tetapi akhir-akhir ini, aku merasa kewalahan menghandle perusahaan dan pesantren sekaligus. Suamiku sering mendapat undangan untuk mengisi ceramah diberbagai daerah. Karenanya dia percayakan semua urusan padaku. Berfikir mungkin ini saatnya mencari teman untuk berbagi tanggung jawab ini.
Seperti mendengar keinginanku. Tuhan mempertemukanku dengan teman lama, yang aku tahu dia dulu lulusan mahasiswi terbaik. Cerdas dan baik hati, itu yang aku lihat dari sosoknya.
"Nabila ...! Kamu Nabila kan?" Sapaku pada wanita, saat tidak sengaja aku melihatnya sedang sibuk berbelanja.
"Siapa ...?" tanyanya. Dia tidak mengenaliku, karena aku bercadar.
"Aku Aisyah. Kamu ingat nggak? Dulu kita satu angkatan di Fakultas Ekonomi Universitas A," jawabku.
Sejak saat itu aku akrab kembali dengannya, Nabila bekerja sebagai salah satu tutor bimbel. Pernah bekerja di sebuah bank swasta nasional, tapi memilih resign, karena tidak mau berhubungan dengan riba.
"Nab ... kamu mau jadi maduku nggak?"
"Kamu jangan bercanda yang aneh-aneh, Is. Mana ada perempuan cari madu. Mendengar suami mau nikah lagi saja, langsung dunia runtuh rasanya," jawab Nabila.
"Aku serius, Nab. Aku tahu kamu wanita baik, karenanya aku memilihmu. Kita bisa bekerja sama dalam satu keluarga. Suamiku pemilik pabrik tekstil sekaligus pemilik pesantren. Aku sendiri kewalahan handle. Aa Amar, sering keluar kota untuk dakwah."
"Aku pikir-pikir dulu, Is. Sekaligus minta pendapat keluargaku. Kamu tahu sendiri banyak orang memandang buruk istri kedua. Tidak jarang menyebutnya pelakor."
"Memang aneh manusia-manusia itu. Padahal poligami itu syariat, tapi dibenci. Asalkan dilakukan dengan cara baik dan benar, bernilai ibadah. Sayangnya banyak lelaki tak beradab merusak citra poligami. Begitu pula banyak wanita gatel, membuat stigma istri kedua menjadi buruk." ujarku mengucap istigfar dalam hati. Melihat fenomena sekarang, banyak perempuan tidak punya harga diri, menjadi penggoda suami orang.
"Iya Is. Nanti aku kabari lagi ya." ucap Nabila. Setelah pertemuan itu, tidak butuh waktu lama Nabila mengiyakan permintaanku. Tanpa sepengetahuan A Amar, aku siapkan hantaran, mahar, lamaran bahkan tanggal pernikahan mereka. Aku tahu A Amar tidak akan mungkin menolak permintaanku.
"Aa ... Aa mau nikah lagi nggak?" tanyaku pada suamiku. Sesaat dia pulang dari Kota S.
"Dinda omong apa sih? Biasanya perempuan paling takut dengan kata nikah lagi. Dinda kok malah bahas ini," ucap suamiku.
"Dinda serius A. Dinda bahagia menjadi istri Aa. Kita punya pesantren dan pabrik yang harus diurus. Dinda butuh teman A. Kan Aa sering keluar kota dakwah, dinda kewalahan ngurusnya. Karena itu dinda cari teman. Cantik, baik dan pintar pokoknya," ujarku.
"Memangnya Dinda sudah ada calon buat Aa?"
"Sudah, dua hari lagi kalian nikahnya."
"Astagfiruloh ... Dinda. Kenapa nggak bilang Aa dulu? Secepat ini," pekik suamiku terkejut dengan ucapanku.
"Niat baik jangan ditunda-tunda, A," jawabku.
Di sinilah sekarang aku berada, mengantarkan suamiku ke pernikahan keduanya. Anehnya banyak orang nyinyir dan ribut dengan yang aku lakukan. Aku yang dipoligami mereka yang panas dan ribut. Padahal seluruh keluargaku mendukungku. Tidak mau dipoligami, itu urusan kalian. Jangan membencinya, karena itu syariat. Selain itu jangan menghabiskan waktu mengkomentari rumah tangga orang lain. Mereka bahagia, kalian yang meradang.